
Pasuruan – Polemik penangkapan dua tersangka kasus pembongkaran Makam Serambi Winongan, Desa Winongan Kidul, Kecamatan Winongan, Kabupaten Pasuruan, kini berlanjut ke meja hijau. Salah satu tersangka, Muhammad Su’ud alias Gus Tom, melalui Tim Kuasa Hukumnya, resmi mengajukan permohonan praperadilan di Pengadilan Negeri Pasuruan, (Selasa, 21/10/2025).
Permohonan yang terdaftar dengan Nomor Register PN BIL-68F19EEA31B4D itu diajukan dengan termohon Kepolisian Resor Pasuruan, dan kini menunggu jadwal sidang.
Sebelumnya, Gus Tom ditangkap oleh tim Polda Jawa Timur pada 2 Oktober 2025 di kediamannya di Jalan Mujamil, Singosari, Malang, lantaran diduga sebagai pelaku pengerusakan bangunan di area makam Serambi Winongan. Setelah penangkapan, ia langsung dibawa ke Polres Pasuruan dan kemudian diperiksa di Polda Jawa Timur, tempat di mana ia kini ditahan.

(Tim Kuasa Hukum Muhammad Su’ud alias Gus Tom)
Dalam berkas permohonan praperadilan Nomor: 007/LONP/X/2025, yang ditandatangani oleh tim kuasa hukumnya, menilai penangkapan dan penetapan tersangka terhadap Gus Tom cacat hukum secara fundamental.
Tim Kuasa hukum menyebut penangkapan dilakukan tanpa surat pemanggilan terlebih dahulu, serta petugas tidak menunjukkan surat tugas maupun surat perintah penangkapan kepada tersangka saat itu. Bahkan, tembusan surat penangkapan tidak diberikan kepada keluarga, sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) dan (3) KUHAP.
Lebih lanjut, Tim Kuasa Hukum menyoroti adanya kejanggalan tanggal surat penyidikan. Berdasarkan dokumen yang diajukan, Surat Perintah Penyidikan (SP.Sidik) dan Surat Perintah Tugas (SP.Gas) diterbitkan pada 2 September 2025, sementara peristiwa yang disangkakan baru terjadi 1 Oktober 2025, dan laporan polisi juga baru dibuat di hari yang sama.
Ainun Na’im MR., S.H.I., M.H., ketua tim kuasa hukum juga menyoroti adanya cacat hukum fundamental terkait tanggal surat penyidikan.
“Surat Perintah Penyidikan (SP.Sidik) dan Surat Perintah Tugas (SP.Gas) dikeluarkan tertanggal 2 September 2025. Padahal, peristiwa yang disangkakan, yakni pembongkaran bangunan di area makam, baru terjadi pada 1 Oktober 2025, dan Laporan Polisi (LP) juga baru dibuat pada tanggal yang sama,” tegasnya, Selasa (21/10/2025).
“Secara prosedur, SP.Sidik tidak mungkin terbit sebelum Laporan Polisi,” imbuhnya.
Hal senada disampaikan R. Darda Syahrizal, S.H., M.H., salah satu anggota tim kuasa hukum, yang menyebut bahwa kejanggalan tersebut menunjukkan penyidikan dilakukan tidak berdasarkan prosedur hukum yang sah.
“Secara hukum acara pidana, tidak mungkin surat penyidikan terbit sebelum peristiwa penangkapan. Ini bukan hanya kesalahan administrasi, tapi pelanggaran mendasar terhadap asas due process of law,” ujar Darda.
Tim kuasa hukum juga mempersoalkan penetapan tersangka tanpa gelar perkara, yang dinilai melanggar Pasal 25 ayat (2) Perkapolri No. 6 Tahun 2019, mengingat kasus ini bukan termasuk perkara tertangkap tangan.
Selain itu, mereka juga menilai legal standing pelapor, Sayyid Hasan Fahmi, perlu dipertanyakan. Dalam permohonan praperadilan dijelaskan bahwa objek pembongkaran berada di tanah makam umum, bukan milik pribadi, dan bangunan yang dibongkar diduga tidak memiliki IMB/PBG alias bangunan liar. Karena itu, laporan polisi yang dijadikan dasar penyidikan dinilai tidak memiliki dasar kepentingan hukum yang sah.
Dalam petitum permohonannya, pihak pemohon meminta pengadilan:
Menyatakan penangkapan, penetapan tersangka, dan penahanan tidak sah secara hukum;
- Memerintahkan agar Gus Tom segera dibebaskan;
- Menghukum pihak kepolisian membayar ganti rugi sebesar Rp10 juta; serta
- Meminta maaf secara terbuka di media massa selama dua hari berturut-turut.
Kasus ini pun menjadi sorotan publik di Pasuruan, mengingat menyangkut keabsahan prosedur hukum oleh aparat penegak hukum serta dugaan pelanggaran hak-hak warga dalam penanganan perkara yang sensitif di wilayah tersebut.






