Bojonegoro – Riadi (27), warga Karangdowo, Desa Sumberjo, Kabupaten Bojonegoro, tengah berjuang menyelamatkan nyawa putranya, Darel Khaifana Ariadi, bayi berusia satu tahun yang didiagnosis mengidap Atresia Bilier, penyakit langka yang menyerang saluran empedu dan berujung pada kerusakan hati.
Riadi menuturkan, Darel lahir pada 12 Desember 2024 dalam kondisi normal seperti bayi pada umumnya. Namun, lebih dari dua pekan setelah kelahiran, tanda-tanda gangguan kesehatan mulai terlihat.
“Setelah dua minggu lebih, badannya terlihat kuning, matanya kuning, dan BAB-nya warnanya pucat,” ujar Riadi.
Perjuangan Riadi Selamatkan Putranya dari Atresia Bilier, Harapan Ada Uluran Tangan Dari Pemerintah Bojonegoro – Riadi (27), warga Karangdowo, Desa Sumberjo, Kabupaten Bojonegoro, tengah berjuang menyelamatkan nyawa putranya, Darel Khaifana Ariadi, bayi berusia satu tahun yang didiagnosis mengidap Atresia Bilier, penyakit langka yang menyerang saluran empedu dan berujung pada kerusakan hati. Riadi menuturkan, Darel lahir pada 12 Desember 2024 dalam kondisi normal seperti bayi pada umumnya. Namun, lebih dari dua pekan setelah kelahiran, tanda-tanda gangguan kesehatan mulai terlihat. “Setelah dua minggu lebih, badannya terlihat kuning, matanya kuning, dan BAB-nya warnanya pucat,” ujar Riadi. Merasa khawatir, Riadi membawa anaknya ke RS Aisyiyah Bojonegoro untuk pemeriksaan. Dari hasil pemeriksaan ultrasonografi (USG), dokter menemukan adanya penyumbatan pada saluran empedu dan menyarankan agar Darel segera dirujuk ke rumah sakit di Surabaya untuk penanganan lebih lanjut. Namun, keterbatasan ekonomi membuat keluarga belum dapat langsung memenuhi rujukan tersebut. Riadi mengakui, faktor biaya menjadi kendala utama pada saat itu. Setelah menjalani kontrol lanjutan, keluarga akhirnya membawa Darel ke Surabaya. Di Surabaya, Darel menjalani serangkaian pemeriksaan medis, termasuk pemeriksaan laboratorium dan pengambilan sampel jaringan hati. Dari hasil pemeriksaan tersebut, dokter memastikan Darel mengidap Atresia Bilier dengan tingkat kerusakan hati stadium F4, yang menandakan kondisi kerusakan hati berat. Dokter sempat menawarkan tindakan operasi pembuatan saluran empedu baru saat usia Darel telah melewati dua bulan. Namun, peluang keberhasilan operasi dinilai sangat kecil. “Dokter menyampaikan peluangnya sekitar 15 persen berhasil dan 85 persen gagal. Saya takut kalau menyetujui operasi itu malah membahayakan nyawa anak saya,” tutur Riadi. Atas pertimbangan tersebut, keluarga memilih menjalani perawatan jalan. Darel harus rutin dibawa ke Surabaya setiap dua minggu, dengan pola satu minggu menjalani perawatan inap dan satu minggu berikutnya kembali ke rumah. Riadi menyampaikan bahwa transplantasi hati menjadi satu-satunya harapan untuk menyelamatkan nyawa putranya. Namun, keterbatasan fasilitas dan tingginya biaya menjadi tantangan besar bagi keluarga. Di Indonesia, transplantasi hati untuk anak hanya tersedia di rumah sakit tertentu di Jakarta dengan proses yang relatif panjang. Sementara itu, dokter menyebutkan bahwa penderita Atresia Bilier memiliki harapan hidup terbatas apabila tidak segera menjalani transplantasi. “Anak Atresia Bilier divonis umurnya tidak sampai dua tahun. Sekarang anak saya sudah satu tahun,” kata Riadi. Sebagai alternatif, keluarga juga mendapatkan informasi mengenai transplantasi hati di luar negeri, seperti di China, dengan proses yang relatif lebih cepat. Namun, biaya yang dibutuhkan mencapai sekitar Rp750 juta. Sementara di Jakarta, biaya transplantasi, skrining pendonor, serta perawatan pendonor diperkirakan mencapai sekitar Rp250 juta, belum termasuk biaya hidup selama proses pengobatan yang dapat berlangsung hingga bertahun-tahun. Riadi yang bekerja sebagai buruh bangunan lepas mengaku tidak mampu menanggung beban biaya tersebut seorang diri. Ia pun berharap adanya perhatian dan bantuan dari pemerintah maupun pihak terkait. “Harapan saya semoga ada yang membantu meringankan beban biaya, terutama dari pemerintah, agar anak saya bisa mendapatkan kesempatan hidup,” ujarnya. Hingga berita ini diturunkan, keluarga Riadi masih terus berupaya mencari dukungan dan solusi medis terbaik agar Darel Khaifana Ariadi dapat menjalani transplantasi hati yang dibutuhkan demi mempertahankan hidupnya. #fyp#fyppppppppppppppppppppppp#fypage#bojonegoro#bojonegoro24jam @R. Darda Syahrizal, S.H, M.H @Bung Darda @Putra Bangsa @Red Justicia Law Firm @LBH_Kinasih @ion @Justicia Networking Forum @Ridwan Lukman @Arif Adhie @MIFTAHUL AMIN @re_gumay @setyowahono_asli @nurulazizah_bjn
Merasa khawatir, Riadi membawa anaknya ke RS Aisyiyah Bojonegoro untuk pemeriksaan. Dari hasil pemeriksaan ultrasonografi (USG), dokter menemukan adanya penyumbatan pada saluran empedu dan menyarankan agar Darel segera dirujuk ke rumah sakit di Surabaya untuk penanganan lebih lanjut.
Namun, keterbatasan ekonomi membuat keluarga belum dapat langsung memenuhi rujukan tersebut. Riadi mengakui, faktor biaya menjadi kendala utama pada saat itu. Setelah menjalani kontrol lanjutan, keluarga akhirnya membawa Darel ke Surabaya.
Di Surabaya, Darel menjalani serangkaian pemeriksaan medis, termasuk pemeriksaan laboratorium dan pengambilan sampel jaringan hati. Dari hasil pemeriksaan tersebut, dokter memastikan Darel mengidap Atresia Bilier dengan tingkat kerusakan hati stadium F4, yang menandakan kondisi kerusakan hati berat.
Dokter sempat menawarkan tindakan operasi pembuatan saluran empedu baru saat usia Darel telah melewati dua bulan. Namun, peluang keberhasilan operasi dinilai sangat kecil.
“Dokter menyampaikan peluangnya sekitar 15 persen berhasil dan 85 persen gagal. Saya takut kalau menyetujui operasi itu malah membahayakan nyawa anak saya,” tutur Riadi.
Atas pertimbangan tersebut, keluarga memilih menjalani perawatan jalan. Darel harus rutin dibawa ke Surabaya setiap dua minggu, dengan pola satu minggu menjalani perawatan inap dan satu minggu berikutnya kembali ke rumah.
Riadi menyampaikan bahwa transplantasi hati menjadi satu-satunya harapan untuk menyelamatkan nyawa putranya. Namun, keterbatasan fasilitas dan tingginya biaya menjadi tantangan besar bagi keluarga.
Di Indonesia, transplantasi hati untuk anak hanya tersedia di rumah sakit tertentu di Jakarta dengan proses yang relatif panjang. Sementara itu, dokter menyebutkan bahwa penderita Atresia Bilier memiliki harapan hidup terbatas apabila tidak segera menjalani transplantasi.
“Anak Atresia Bilier divonis umurnya tidak sampai dua tahun. Sekarang anak saya sudah satu tahun,” kata Riadi.
Sebagai alternatif, keluarga juga mendapatkan informasi mengenai transplantasi hati di luar negeri, seperti di China, dengan proses yang relatif lebih cepat. Namun, biaya yang dibutuhkan mencapai sekitar Rp750 juta. Sementara di Jakarta, biaya transplantasi, skrining pendonor, serta perawatan pendonor diperkirakan mencapai sekitar Rp250 juta, belum termasuk biaya hidup selama proses pengobatan yang dapat berlangsung hingga bertahun-tahun.
Riadi yang bekerja sebagai buruh bangunan lepas mengaku tidak mampu menanggung beban biaya tersebut seorang diri. Ia pun berharap adanya perhatian dan bantuan dari pemerintah maupun pihak terkait.
“Harapan saya semoga ada yang membantu meringankan beban biaya, terutama dari pemerintah, agar anak saya bisa mendapatkan kesempatan hidup,” ujarnya.
Hingga berita ini diturunkan, keluarga Riadi masih terus berupaya mencari dukungan dan solusi medis terbaik agar Darel Khaifana Ariadi dapat menjalani transplantasi hati yang dibutuhkan demi mempertahankan hidupnya