
Blora – Kasus kekerasan terhadap anak berinisial ZF (14 tahun) yang menjerat terdakwa Afrida Mahyeni Nasution (ibu tiri ZF), memasuki babak baru. Afrida melakukan banding atas putusan Pengadilan Negeri Blora yang menghukumnya dengan pidana kurungan 1 tahun 6 bulan.
Untuk itu Afrida telah menunjuk Advokat Darda Syahrizal dan Khoirul Anwar dari LBH Kinasih sebagai Penasihat Hukumnya. Melalui Penasehat Hukumnya, Afrida telah mengirimkan memori banding ke Pengadilan Tinggi Semarang, (Selasa 3/12/2024).
Dalam memori bandingnya, Penasehat Hukum Afrida menyayangkan sikap Majelis Hakim Pengadilan Negeri Blora. Sebab Majelis Hakim mengabaikan keterangan dari saksi-saksi yang telah Afrida ajukan. Selain itu tidak menjadikan keterangan saksi-saksi tersebut sebagai bahan pertimbangan.
Seperti kesaksian Tri Puji Mulyono yang pada saat kejadian (28 maret 2023) menjemput Korban ZF dan kakaknya, FA. Setelah itu dia mengantarkan mereka pulang, dan tidak pernah melihat Afrida melakukan kekerasan kepada ZF. Dalam kesaksiannya Tri Puji Mulyono melihat Afrida saat itu sedang memasak. Kesaksian tersebut diperkuat dengan keterangan Saksi Rusiyah. Bahwa saat kejadian (28 Maret 2023) Rusiyah membantu Afrida memasak mulai pukul 10.00 sampai dengan masuk sholat teraweh. Dalam kesaksiannya, Rusiyah juga melihat FA membantu memasak. Namun pada waktu kejadian, Rusiyah tidak pernah melihat Afrida memarahi anak-anak tiri nya atau bahkan sampai melakukan kekerasan.
Begitu juga keterangan saksi Bambang Lukito yang merupakan ayah dari ZF sekaligus suami dari Afrida. Bambang menyatakan bahwa tanggal 28 Maret 2023, dia sedang berkomunikasi dengan istrinya (Afrida) via aplikasi Whatsapp. Dalam komunikasi tersebut, dia menerangkan bahwa istrinya sedang memasak untuk berbuka puasa di Mushola.
Penasehat Hukum Afrida, Darda Syahrizal menyampaikan, bahwa pada tanggal kejadian tepat di bulan ramadhan.
“Jika kita mengacu pada kalender masehi tahun 2023, maka tanggal 28 Maret 2023 adalah bulan puasa. Sehingga kuat dugaan bahwa benar, pada saat itu Afrida sedang masak-masak untuk keperluan berbuka bersama di Mushola. Terlebih ada kesaksian dari Tri dan Rusiyah yang memperkuatnya,” ucap Darda.
Selain itu, Darda menyampaikan bahwa Majelis Hakin juga mengabaikan kesaksian adik korban (NZ).
“Saksi NZ (9 tahun) yang merupakan adik dari ZF dan FA juga memberi keterangan jika Afrida tidak pernah melakukan kekerasan terhadap kakaknya. Namun Mejelis Hakim di PN Blora mengabaikan semua kesaksian NZ,” ujar Darda.
“Selain itu, majelis hakim juga mengabaikan bukti chat WA dan foto-foto yang dipergunakan Afrida. Dengan alasan menurut Undang-Undang ITE dokumen tersebut harus dapat dijamin keotentikannya, keutuhannya, dan ketersediaanya. Sementara dalam perkara ini Afrida tidak menghadirkan ahli yang dapat memastikan keotentikan dan keutuhan dokumen tersebut. Hal tersebut tertuang dalam Putusan PN Blora, nomor 55/Pid.Sus/2024/PN Bla (18 November 2024),” tambahnya.
Atas pertimbangan tersebut Darda menyampaikan sanggahannya dengan berdasarkan Undang-Undang ITE.
“UU ITE No.11 tahun 2008 pasal 5 ayat 1 dan 2. dan Penjelasan Atas UU No.19 tahun 2016 tentang perubahan atas UU No.11 tahun 2008 pada pasal 5 ayat (1) sudah jelas mengatur bahwa, bukti elektronik adalah sah dan diakui dalam system hukum pidana kita. Selain itu Terdakwa juga telah menunjukan asli chat tersebut dengan menunjukan HP nya,” jelas Darda.
Sistem hukum pidana kita menekankan pembuktian materiil, bukan formil. Jangan gara-gara tidak ada saksi ahli yang melabel bukti itu sah, lalu hakim mengatakan tidak sah. Kenyataannya hakim juga melihat fisik Hp nya. Jika memang menginginkan pemeriksaan saksi ahli, seharusnya hakim memberikan arahan agar Afrida menghadirkan saksi ahli dan memberikan waktu untuk menghadirkannya. Jangan terburu-buru dalam menjalankan proses pemeriksaan kalau memang ada fakta-fakta penting yang perlu diungkapkan.
Para Penasehat Hukum juga menyampaikan kejanggalan lainnya dalam memori banding, yaitu tentang bukti surat.
Bukti berupa laporan hasil penelitian sosial korban kekerasan terhadap anak di bawah umur, dari Dinas Sosial Kabupaten Blora.
Surat laporan tersebut dibuat dan ditanda tangani oleh Pardi Sandi, S.ST (Pekerja Sosial Profesional) dan Nurkholis, S.Kep.MM. Dalam surat tersebut menjelaskan bahwa, klien menjadi korban kekerasan, yang mengakibatkan klien mengalami luka memar dan trauma. Pelaku tak lain adalah ibu tiri klien yang bernama Afrida Mahyeni Nasution.
“Bukti surat tersebut sebelumnya tidak pernah ada dalam berkas perkara dan tidak pernah ada pengujian di muka persidangan. Bahkan tidak menghadirkan saksi ahli dan memeriksa kopetensinya. Kok tiba-tiba bukti surat ini ada dalam putusan?,” imbuh Darda.
“Pada dasarnya kami setuju jika ada pemeriksaan psikologis, agar mengetahui apakah ZF benar mengalami trauma seperti yang di dalilkan jaksa penuntut umum? Apakah benar kalau ZF korban kekerasan Afrida? Kalau perlu tes kejujuran oleh psikolog terhadap ZF apakah keterangan atas kekerasan yang dialaminya adalah sebuah kejujuran ataukah dibawah tekanan” ucap Darda.
Kemungkinan korban (ZF) memiliki masalah psikologis lainnya yang bukan berasal dari kekerasan ibu tirinya (Afrida). Karena sebelum kasus ini mencuat, antara suami Afrida dan keluarga almh istrinya sedang terjadi konflik perebutan hak asuh anak. Atas konflik tersebut, seolah-olah Afrida menjadi korban dari perseteruan suami dan keluarga almh istrinya.
Menurut Darda, terlalu cepat hakim mengambil keputusan.
“Masih terlalu premature untuk menyatakan Afrida bersalah. Seharusnya jika bukti dan saksi masih meragukan, lebih baik hakim membebaskan saja terdakwa (Afrida),” tutup Darda.
Sedangkan menurut Khoirul Anwar, tidak tepat jika hakim hanya berdasarkan keterangan saksi saja dalam pengambilan keputusan.
“Tidak pas jika hakim dalam pengambilan putusan hanya berdasarkan hasil dan keterangan saksi-saksi anak saja. Apalagi tanpa mempertimbangkan saksi dari Terdakwa dan tanpa menghadirkan saksi ahli. Untuk bukti juga sangat lemah. Jaksa menyampaikan pemukulan terhadap korban menggunakan kabel cas Hp, tapi jaksa tidak pernah menunjukan kabel cas hp itu sendiri di ruang persidangan,” ucap Khoirul Anwar.
“Bukannya apa, karena terjadi ketidaksesuaian antara kabel cash dengan ukuran bekas luka. Hasil visum menerangkan terdapat dua luka memar berbentuk garis, masing-masing dengan ukuran kurang lebih 20cmx1cm dan 15cm x 1cm di punggung dada kiri. Sedangkan barang bukti berupa cas HP jika kita perkirakan hanya sebesar 0,5 cm, sedangkan ukuran luka didapatkan 3 hari setelah kejadian melalui visum. Seharusnya luka memar akan berangsur-angsur menghilang bukan bertambah besar.” tambahnya.
Perlu diketahui bahwa visum dilakukan 3 hari setelah kejadian. (red)