
Blora – Gelombang protes publik terus menguat menyusul tuntutan ringan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap terdakwa kasus kelalaian proyek pembangunan RS PKU Muhammadiyah Blora yang menewaskan lima pekerja dan melukai delapan lainnya.
Dalam sidang di Pengadilan Negeri Blora dengan nomor perkara 78/Pid.B/2025/PN Bla, JPU Darwadi menuntut terdakwa Sugiyanto bin almarhum Rasdi, Ketua Panitia Pelaksana Pembangunan RS PKU Muhammadiyah Blora, dengan pidana dua bulan penjara, dikurangi masa tahanan, serta membayar biaya perkara Rp2.500.
Tuntutan tersebut memicu kritik keras dari berbagai kalangan. Salah satunya datang dari Darda Syahrizal, S.H., M.H., praktisi dan pengamat hukum, yang menilai tuntutan itu sebagai bentuk pelanggaran prinsip proporsionalitas dan ancaman serius terhadap perlindungan tenaga kerja di sektor konstruksi.
“Saya sangat menyayangkan sikap JPU yang menetapkan tuntutan sangat ringan ini. Ini kegagalan sistemik dalam penerapan hukum pidana K3 dan mengancam perlindungan tenaga kerja di kemudian hari,” ujarnya, Selasa (28/10/2025).

Pelanggaran Prinsip Proporsionalitas
Menurut Darda, tuntutan dua bulan penjara hanya setara sekitar 3,3 persen dari ancaman maksimal lima tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 359 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan kematian. Disparitas ini menunjukkan ketidakseimbangan nilai pidana terhadap bobot delik.
Meski pendekatan Restorative Justice dapat menjadi alasan meringankan, Darda menilai penerapannya dalam konteks kecelakaan fatal seperti ini tidak proporsional dan tidak memberikan efek jera.
JPU Dinilai Gagal Terapkan Sanksi Berlapis
Kritik juga diarahkan pada kegagalan JPU menerapkan sanksi pidana berlapis, khususnya dari UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja, yang seharusnya menjadi instrumen hukum utama dalam menjamin keselamatan dan perlindungan tenaga kerja.
Dalam Pasal 186 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jo UU Cipta Kerja, pelanggaran keselamatan kerja dapat diancam pidana penjara 1–4 tahun dan/atau denda Rp10 juta–Rp400 juta. Selain itu, UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja juga memuat sanksi tegas bagi pelanggaran norma K3.
“Dengan tidak menggunakan pasal-pasal tersebut, JPU gagal memberikan pesan kuat kepada dunia industri bahwa keselamatan kerja bukan hal yang bisa dinegosiasikan,” tambah Darda.
Sinyal Bahaya bagi Industri Konstruksi
Darda menilai, tuntutan ringan ini mengirimkan sinyal berbahaya bagi dunia konstruksi. “Seolah biaya dari sebuah kelalaian fatal begitu murah. Tanpa efek jera, risiko kecelakaan serupa akan terus berulang,” katanya.
Ia menegaskan, tuntutan pidana yang keras dan komprehensif adalah kunci untuk meningkatkan standar K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) serta menjamin keselamatan pekerja di masa depan.
Lemahnya Koordinasi Penegakan Hukum K3
Selain itu, ketiadaan tuntutan berdasarkan undang-undang ketenagakerjaan juga menimbulkan pertanyaan soal peran Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) dalam proses penyelidikan.
Mengacu pada Pasal 138 dan 183 UU No. 13/2003, Pengawas Ketenagakerjaan memiliki kewenangan sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) untuk menelusuri dugaan pelanggaran K3. Lemahnya koordinasi antara kejaksaan dan PPNS disinyalir menjadi faktor penyebab hukum ketenagakerjaan tidak dijadikan dasar tuntutan.




