
Blora – Nama Cepu mungkin lebih sering terdengar di telinga publik dibandingkan Kabupaten Blora, wilayah induknya. Bagi sebagian orang, Blora masih terasa asing, meski bisa jadi mereka pernah melintasinya. Berbeda dengan Cepu, yang sejak lama dikenal sebagai pusat industri migas dan simpul ekonomi strategis.
Reputasi Cepu tak lepas dari sejarah panjang pengelolaan migas sejak era kolonial, ditambah kehadiran pusat pendidikan energi seperti Pertamina EP Cepu (PEPC) dan PEM Akamigas. Ditambah lagi, Stasiun Cepu yang dilintasi jalur kereta utama di Pulau Jawa membuat nama daerah ini lebih akrab di peta perjalanan.
Cepu pun tumbuh sebagai kawasan yang ramai dan punya daya tarik tersendiri, sementara Blora sebagai kabupaten justru masih kesulitan membangun citra serupa.
Yang menarik sekaligus ironis, beban pembangunan justru banyak ditumpukan ke Cepu. Lewat konsep pengembangan “Cepu Raya”, kecamatan ini dirancang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi lintas provinsi, mencakup Blora, Bojonegoro, Tuban, hingga Ngawi.
Wacana ini kembali menguat setelah Menko PMK Pratikno, yang juga berasal dari Bojonegoro menyatakan dukungannya. Menurutnya, Cepu memiliki posisi geografis dan potensi sumber daya yang ideal untuk menjadi poros ekonomi kawasan.
Namun, di balik semua harapan besar itu, masih banyak pekerjaan rumah yang belum terselesaikan. Blora, sebagai kabupaten induk, masih bergulat dengan masalah klasik seperti jalan rusak, bandara Ngloram yang belum optimal, dan sektor pariwisata yang minim realisasi.
Cepu pun berada di persimpangan: satu kaki berpijak di Jawa Tengah, tapi perannya justru menopang wilayah Jawa Timur. Sebuah kecamatan kecil yang dipaksa menggendong beban besar, sementara dukungan infrastruktur dan kebijakan belum sepenuhnya hadir mendukung ambisi tersebut.(Op/Red)